Ketika Yang Berjuang Menjadi Terbuang..
“Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya”
Berbanggalah kita sebagai bangsa Indonesia karena pernah memiliki sosok yang banyak sekali menimbulkan controversial dalam kehidupannya. Soekarno, sekali lagi Sokarno. Bagai aliran air di samudera luas cerita tentang Soekarno tak pernah usai.
Berbagai sisi kehidupannya senantiasa menimbulkan tanggapan yang cukup tajam, mulai dari yang berbau mistik sampai seputar hari-hari akhir kekuasaan dan akhir hayatnya, tak bosan ditulis dan dicari orang.
Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, dari pasangan Raden Sukemi Sastrodiharjo (berprofesi guru) dan Ida Ayu Nyoman Rai dari Bali. Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah selama 3 tahun rezim Orde Baru (Orba) mengkarantinakannya secara politik.
Sebagai komunikator ulung dan layaknya seorang guru yang cakap, Soekarno mampu menyampaikan ide-ide/pemikiran cerdas dengan lancar, penuh imajinasi dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang sebetulnya sukar dan berat, menjadi mudah dan ringan dicerna untuk dipahami masyarakat awam sekalipun.
Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila per sila Pancasila, terlihat jelas sekali pengetahuan Soekarno sangat luas dan mendalam. Dalam uraian-uraiannya, sering Bung Karno menyitir pemikiran-pemikiran filusuf Renan, Confucius, Gandhi, ataupun Marx. Dengan begitu, Soekarno seolah ingin menunjukkan serta memberi contoh bahwa tiap warga negara perlu terus-menerus memperluas pengetahuannya. Kendati Soekarno dididik sebagai seorang teknik, tapi ia amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, politik, sejarah dan agama.
Dalam satu kesempatan dalam rangkaian kuliah itu, Soekarno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan seorang petani miskin bernama Marhaen. Dialog itu sendiri sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelumnya, tapi Soekarno masih mampu mengingat dan menggambarkannya dengan amat jelas, gamblang.
Ini pertanda Soekarno amat menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan Marhaen, wong cilik, rakyat jelata miskin, serta mau menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama untuk membebaskan semua rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan, dan ketidakadilan. Bagi Bung Karno, retorika memperjuangkan kepentingan rakyat yang tak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat merupakan omong kosong, utopia.
Dengan begitu, sebagai guru bangsa, Soekarno amat tak suka cuma berkutat di dunia teori, melainkan juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari seluruh lapisan masyarakatnya. Soekarno selalu berusaha keras mempertemukan ‘buku’ dengan ‘bumi’, menatap teori-teori sosial dengan realita kehidupan keseharian rakyat Indonesia yang sedang ia perjuangkan.
Soekarno terus-menerus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Agaknya inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin-pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun setelahnya.
Satu hal penting yang tak diragukan dan perlu diingat – terlepas dari apakah orang setuju ataukah tidak dengan uraian dan berbagai pemikirannya – bahwa Soekarno bukanlah sosok pejabat (presiden) yang korup. Memang, bagaimanapun, sebagai seorang manusia, Soekarno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara misalnya, ia terlihat amat menikmati posisinya, sehingga muncul kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat, bangsa dan negara demokratis.
Di satu sisi, Republik Rakyat Cina (RRC) bersama Uni Soviet dan Blok Timur-nya menyambut kemenangan PKI itu dengan amat antusias dan penuh gembira karena menandakan kian meluas dan menguatnya pengaruh komunisme di Indonesia. Tapi di sisi lain, bagi Washington bersama sekutu-sekutunya, kemenangan PKI itu kian meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan benar-benar lepas dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam kerangka pikiran teori domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di segenap kawasan Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Pada tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara anggota, pengikut, dan pendukung PKI dengan unsur-unsur kekuatan domestik nonkomunis yang di-back up penuh oleh AS dan kawan-kawan. Lalu, sedikit demi sedikit Soekarno ‘dijepit’ dari semua sisi oleh pemerintahan Orba, dan akhirnya guru bangsa yang kelewat besar jasanya bagi Indonesia ini dikarantinakan, disingkirkan dari panggung kekuasaan.
Indonesia yang dengan segenap cinta dia tegakkan, ternyata di Indonesia pula dia harus tergilas dan tersingkirkan. Tapi benarkah demikian ? Biarlah sejarah yang mencatat dan memberikan jawaban untuk generasi mendatang.
untuk saudaraku yang telah berjuang, namun terbuang..
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar kamu di sini!